Agenda 

Kronis

Deden Hardi, lahir di Bandung, 26 Agustus 1983. Senang menulis puisi, cerpen, dan esai. Tulisannya telah tersiar di beberapa media seperti Nyonthong, Qureta, dll. menyelesaikan pendidikan strata satunya pada jurusan Hubungan Internasional (HI) di Universitas Pasundan. Kini menetap dan bergiat di kota kelahirannya, Bandung, Jawa Barat.

 

Ia menghabiskan sesapan kopi terakhirnya. Membaca koran pagi sebentar, sebelum beringsut menuju cermin panjang setinggi badan. Membetulkan letak dasi dan jas yang kelihatan mentereng. Sisirannya rapi. Berkaca senyum-senyum sendiri.

“Selamat pagi, Pak Momon.” Seorang lelaki paruh baya menyapa sumringah.

“Tanggal berapa ya hari ini?”

“30 September 2020, Pak” jawab Beckham mantap.

“Bagus sekali. Detil. Pantas benar kamu jadi asisten saya.” Dalih Momon. Padahal ia lupa hari ini hari apa. Hari ini tanggal berapa. Jangankan tanggal, mungkin dia juga lupa nama lengkap asistennya itu. Dia selalu panggil namanya dengan lafal ‘Bek’. Macam bebek. Usianya bahkan sama dengan anak tertuanya.

Sebetulnya orang mafhum dengan penyakit Momon. Mereka hanya sungkan. Ayahnya dulu adalah pejabat tinggi yang sangat dihormati. Mungkin pula ditakuti. Kalau ada yang menyarankan untuk periksa ke dokter ia akan langsung menolak.

“Saya masih waras!” Semburnya.

Sudah barang tentu segala kebutuhannya jadi job desc borongan si asisten. Mulai dari kegiatan sosial, bisnis, politik, sampai hal-hal pribadi. Boleh jadi penyakit ini pula yang membuatnya masih awet hidup sendiri sampai sekarang alias melajang, meski sudah berkepala tiga setengah. Kalau ditanya soal asmara ia akan menjawab dengan kutipan klise para lelaki berjiwa muda.

“Hidup dimulai di umur 40, Bek.”

“Apa tak ada yang cocok dari sekian banyak perempuan yang Bapak kenal?” Tanya asistennya yang setia itu.

“Kalau menurut kriteria ya cocok semua. Cantik-cantik. Berkelas. Tapi ya hidup ini santai saja sih. Mau kejar apa. Nikmati. Wong semua sudah saya punya. Pernikahan itu kan cuma status. Yang penting sama-sama seneng. Sama-sama suka. Kalau mau besokpun jadi, Bek. Siapa yang nolak?”

“Yakin saya Pak. Tapi pasti ada kan satu dari sekian yang kira-kira nyantol?”

“Ada.”

“Yang mana Pak?” Tanya Beckham penasaran.

“Ya itu dia, saya lupa namanya.”

Yang diderita Momon mungkin sejenis penyakit yang sudah di level akut. Beberapa orang memang suka mendadak lupa tanpa musabab. Atau lupa yang disengaja tapi pura-pura lupa kalau ia sengaja lupa. Lihat saja di pengadilan. Momon ini mungkin kombinasi keduanya. Tapi dengan posisinya sekarang, ia masih punya sisa-sisa pengaruh di kalangan tertentu. Khususnya yang dekat dengan sejarah dinasti keluarganya.

Tujuan hari ini adalah kantor Dewan Pengawas Raja (DPR). Selama di mobil, telunjuknya bergoyang-goyang terus di atas lutut. Matanya meneropong jauh ke luar kaca jendela. Terlihat langit begitu cerah menaungi beton-beton raksasa dan jalanan mengular yang melayang diantaranya. Seperti mengingat-ingat sesuatu.

“Selamat pagi, Pak Momon. Jalanan lancar?” tanya Pak Pungkas—sang ketua DPR—menyalami Momon di pelataran kantor.

“Biasalah, kemacetan itu nasib yang susah diubah di kota ini.” Kelakar Momon menyunggingkan barisan gigi putihnya. Rata mengkilap. Mereka memasuki ruangan. Para karyawan dan jurnalis sudah bersiap-siap dengan tugasnya masing-masing. Penting sekali nampaknya agenda hari ini.

“Sebagai anak bangsa dan bagian dari rakyat tentunya kita diberi kebebasan hak berbicara dan mengemukakan pendapat toh Pak.”

“Tentu, Pak tentu. Bagaimana Pak?” Pak Pungkas membetulkan letak kacamatanya.

“Apalagi ini negara hukum yang menjunjung tinggi demokrasi. Betul?”

“Siap Pak, siap.”

“Maka dari itu perkenankan saya untuk mengutarakan maksud dan tujuan saya kemari Pak, Mmm…”

“Silahkan, Pak, silahkan.”

“Bahwasanya tujuan saya kemari hendak melakukan pelaporan atas suatu tindakan atau perihal yang saya terima dari laporan orang-orang mengenai dugaan tindakan yang kurang etis dan menyalahi wewenang dari pejabat tinggi kita. Sebagai pihak yang dipercaya dan diberi amanah maka laporan ini saya teruskan ke Bapak untuk dibuatkan sebuah laporan resmi dari berbagai pihak yang berniat melaporkan namun memiliki keterbatasan untuk mengajukan sebuah laporan. Sudah rahasia umum kalau semua laporan masyarakat itu tidak lebih hanya sebentuk laporan biasa yang tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya status pelaporan itu dilaporkan.” Momon menjelaskan sambil menggerakkan tangan layaknya berpidato.

“Baik, Pak baik. Saya terima laporannya.”

“Silahkan.”

“Saya baca sebentar ya Pak.”

“Silahkan, Pak silahkan.”

Pak Pungkas membaca sekilas sekumpulan kertas di dalam map. Dahinya mengernyit kemudian.

“Lho ini objek terlapornya kok kosong.”

“Diisi sendiri saja Pak.”

“Maksudnya?”

“Eh maksud saya, coba saya lihat dulu.”

Memang kosong. Di kertas itu hanya tertulis narasi pelaporan dan subjek pelapor, tapi tak tercantum nama terlapor. Momon melirik Beckham.

“Kosong?” tanya Momon pelan. Hanya moncong bibirnya yang bergetar.

“Bapak sendiri yang suruh saya mengosongkan. Waktu itu bapak bilang lupa. Nanti saja diisi kalau sudah ingat. Kalau diisi sembarang kan repot nantinya. Ingat kan Pak?” Bisik Beckham tak kalah pelan.

“Tugas kamu kan mengingatkan saya.”

“Sayaa…juga lupa Pak.” Beckham tergagap tak punya alibi cadangan.

“Kalau Bapak mau isi sekarang bisa Pak. Diketik saja disini.” Ujar Pak Pungkas menawarkan solusi.

“Eee anu…sebetulnya ada pelaporan lain yang juga ingin saya sampaikan, Pak.” Momon terbata-bata mengambil map kuning lainnya di kepitan hangat tangan Beckham.

“Oh jadi ada dua? Boleh…Bisa saya terima Pak”

“Silahkan.”

Kali ini Momon menyerahkan map lainnya dengan sedikit perasaan ragu. Seperti tak rela kertas map itu berpindah tangan. Pak Pungkas melirik mata Momon. Mereka saling menatap. Map itu lalu tarik-tarikan, sampai akhirnya dimenangkan Pak Pungkas dengan sedikit berlagak batuk. Matanya dipicingkan. Membaca satu-persatu baris kalimat dengan ringkas.

“Lha, Pak ini juga sama. Bapak teliti lagi tidak laporannya?”

“Sama, Pak?” Matanya melirik lagi ke arah Beckham. Pak Pungkas menatap keduanya seperti geragapan. Salah tingkah.

“Padahal isi laporannya serius sekali ini Pak. Tertulis di sini bahwa patut diduga telah terjadi pembiaran sistematis terhadap kebangkitan kembali Partai Kecoa yang sudah dilarang di negeri ini. Kemunculannya sangat meresahkan warga karena sudah ada yang menjadi korban. Diperkirakan anggotanya telah melebihi angka jutaan orang yang sudah tersebar di penjuru negeri. Ada indikasi bahwa pengaruhnya sudah sampai pada tingkat pemerintahan pusat.”

Momon tak bereaksi. Telinganya masih memasang dengar kemungkinan kalimat yang bakal berbunyi selanjutnya.

“Tapi tak tertulis siapa saja orang-orangnya. Siapa saja anggotanya, strukturnya. Akta notaris, domisili kantor dan lain-lain. Kalau hanya sekadar gambar sulit ini Pak Momon.”

“Anu Pak…Ini aspirasi dan laporan yang berkembang di tengah masyarakat. Saya hanya menyampaikan saja. Tapi saya juga meyakini bahwa mereka memang masih ada, Pak. Sudah menyebar beritanya. Bahaya kalau bangkit lagi.” Ujar Momon semakin pelan.

“Iya tapi nanti bisa bermasalah hukum Pak Momon. Bisa-bisa mereka menuduh balik Bapak atas tuduhan pencemaran nama baik.”

“Maksudnya?”

“Bapak dan kelompok Bapak kan yakin benar Partai Kecoa ini masih ada dan eksis. Walaupun masih harus ditelaah betul faktanya. Tapi kalau mereka ternyata memang ada dan melaporkan balik bagaimana?”

“Nah itu dia! Bagus kan Pak! Jadi terbukti kalau memang begitu.” Momon berapi-api.

“Maka dari itu saya sarankan Bapak Momon lengkapi dulu berkas-berkas laporannya. Nanti dipersilahkan datang kembali. DPR selalu terbuka untuk semua. Pasti akan kami tindak lanjuti tanpa pilih kasih.” Ucap Pak Pungkas datar. Tampaknya ia mulai menyadari gosip yang beredar selama ini tentang kondisi ingatan Momon.

Semua telinga menunggu jawaban. Momon terdiam sesaat. Matanya menatap lekat map-map warna di atas meja. Ia menoleh ke arah pintu keluar. Orang-orang sudah berkumpul menenteng peralatan kamera.

“Nanti katakan saja pelaporan ditunda. Bapak bilang hari ini sesinya konsultasi.” Ucap Pak Pungkas melihat gelagat risau di raut Momon.

“Baik Pak, kalau begitu terimakasih atas waktunya. Saya permisi.”

Momon pulang dengan langkah gontai yang dikuat-kuatkan. Hanya senyuman khas yang bisa ia lemparkan pada pertanyaan para wartawan. Bukit dadanya membusung meski ada kekecewaan di dalam.

“Caranya Pak Pungkas itu lho. Seolah-olah saya mengada-ada.”

“Penerimaannya baik-baik saja Pak. Kita saja yang memang teledor. Tak mengecek dulu. Kurang persiapan.”

“Iya juga. Saya jadi malu. Tatapannya terakhir bicara seperti prihatin lihat saya.” Kalimat itu menuai jeda. Cukup lama.

Di balik kemudi Beckham menyalakan tape, mencari frekuensi musik lawas yang ia gandrungi. Dilihatnya dari spion tengah Momon tercenung. Di luar, cerlang senja semakin muda keemasan. Mengelir jiwa-jiwa tak terduga yang terjebak dalam kemacetan. Jiwa-jiwa penutup sibuk yang mengalir menuju entah ke arah mana tujuan.

“Kota ini. Semakin metropolitan, semakin asing saja rasanya.” Momon menerawang sentimentil.

“Zaman berubah. Eranya tak seperti era Bapak dulu Pak”

“Orang-orang begitu saja lupakan Bapak. Semua ini, gedung-gedung, jalan layang, pertokoan, monumen, taman kota, ketertiban, modernitas. Semua ini hasil rintisannya Bapak.”

“Sekarang kita kayak dipandang sebelah mata. Pak Pungkas, dan orang-orang itu sebenarnya ngerti. Ada yang tak beres dengan negeri ini. Tapi ya itu tadi kamu bilang, mungkin masanya sudah berubah.” Sambung Momon.

“Jangan diambil hati Pak. Bapak masih ada yang mendukung, meski tak sebanyak dulu.”

Program musik berganti dengan berita.

“Radio Monarki Katanesia dengan warta berita. Sari berita penting……”

Momon meraih sebotol air mineral di kulkas mini portable. Direguknya air itu dalam-dalam. Kejadian tadi tak pelak membuat dahaganya memanggil.

“Menjelang diperingatinya Hari Pahlawan Nasional beberapa bulan mendatang, Raja hendak mempertimbangkan sebuah keputusan penting yang telah menjadi wacana kontroversial sejak lama. Raja merasa sudah waktunya bangsa ini memberikan penghormatan tertinggi kepada mantan Perdana Menteri Katanesia pertama, Kata Satrio, dan mengangkatnya menjadi Pahlawan Nasional di tahun ini. Pembahasan mengenai wacana ini diprediksi akan memancing perdebatan alot dikarenakan pada rezim…..”

Momon dan Beckham terperanjat. Seakan-akan tak percaya dengan apa yang baru saja diberitakan.

“Pak…”

“Iya Bek. Saya dengar.” Matanya membeliak.

Sekelebat reka bayangan terlintas dalam benaknya. Fragmen-fragmen singkat bermunculan menarik ingatan lampau masa kecilnya.

“Bek, saya ingat sekarang!”

“Ingat apa Pak, nama-nama pihak terlapor yang akan Bapak laporkan?”

“Bukan. Saya tiba-tiba ingat apa yang sudah Bapak perbuat dulu pada orang-orang.”

 

(Bojongsoang, Maret 2018)

 

 

 

 

Related posts

Leave a Comment

thirteen + seventeen =